(oleh: H. Ahmad Syafii Maarif)
Sekiranya letak Sumpur Kudus tidak tersuruk jauh di perbatasan Sumatra Barat dan
Riau Daratan, di lembah bukit barisan, boleh jadi perhatian saya terhadap nagari yang sunyi
ini akan tipis saja.
Republika telah turut berjasa mengenalkan nagari dan kecamatan ini kepada para
pembaca melalui Resonansi dan resensi otobiografi saya yang disiarkan secara luas itu.
Ucapan terima kasih yang manis harus saya sampaikan kepada harian ini yang terus saya ikuti perjalanannya di samping sebagai pelanggan setia sejak pertama kali muncul tahun 1993 dengan segala kritik saya terhadapnya.
Di Sumpur Kudus saya sendiri sudah tidak punya tempat tinggal lagi.
Jika pulang kampung, saya selalu nebeng di tempat keluarga dekat yang dengan ramah menyambut
saya dan teman-teman dari Jawa.
Sejak satu setengah tahun yang lalu listrik, berkat uluran
tangan PLN, telah mencahayai kawasan tersuruk itu hingga merambat ke tepi bukit.
Begitu juga
bantuan teman-teman dari Jawa, baik dari instansi pemerintah maupun swasta, telah banyak mengalir
ke kawasan itu.
Terakhir, sebuah masjid mungil di Silantai, tetangga nagari Sumpur, sedang dalam proses penyudahan,
sebagian besar dananya dipasok dari kebaikan teman-teman.
Tanpa itu semua, penyelesaian tempat
ibadah ini akan memakan tempo tahunan, karena jangkauan tangan penduduk sangat terbatas.
Ada satu dua orang yang punya rezeki agak lumayan, namun hatinya belum tersentuh untuk membeli tiket ke akhirat.
Maka, terasa benarlah bagi Sumpur Kudus khususnya, dan Ranah Minang umumnya, tanpa rantau
akan banyak mengalami kesulitan untuk membenahi sarana-sarana publik.
Pemerintah sendiri juga punya
keterbatasan-keterbatasan untuk membangun Indonesia yang luas ini.
Saya tidak mau mengungkit kali ini, tentang kekayaan bangsa yang menguap ratusan triliun saban tahun karena kerapuhan birokrasi dan akutnya sakit mental kita.
Penduduk Kecamatan Sumpur Kudus --yang juga nama nagari itu-- hanyalah sekitar 20 ribu jiwa.
Umumnya petani padi, karet, cokelat, kulit manis, dan sedikit gambir.
Sebelum kendaraan bermotor masuk ke
kawasan itu, angkutan kuda merupakan transportasi utama untuk berbelanja ke pasar Kumanis yang jaraknya sekitar
30 kilometer dari nagari itu.
Kini hewan yang pernah berjasa besar itu telah menghilang, disapu
bersih oleh kendaraan yang menggunakan BBM yang harganya selalu dinaikkan pemerintah.
Kalau dulu,
anak-anak akan dengan mudah mengenal apa itu kuda karena tampak di mana-mana, di jalan dan di sawah,
sekarang harus diceritakan dulu atau ditonton melalui televisi.
Inilah perubahan zaman yang terus
bergerak dan bergulir tanpa ada kekuatan yang dapat menghambatnya.
Kadang-kadang muncul juga nostalgia untuk mengingat iringan kuda beban yang berangkat hari Senen dari Sumpur Kudus dan nagari sekitarnya ke Kumanis dan pulang Rabu dengan mengangkut keperluan pokok rakyat yang tidak dapat semuanya disediakan kampung.
Bayangkan untuk menempuh jarak 60 km pergi pulang, harus diatur waktu lebih dua hari.
Tetapi,
dalam rekaman memori saya di usia lanjut ini, panorama masa lampau itu terlihat demikian asri dan tenang,
sekalipun ketika dijalani cukup membuat kita penat, lelah, dan dahaga. Maklumlah jarak sepanjang itu ditempuh
dengan berjalan kaki.
Sekiranya Indonesia tidak merdeka sejak 61 tahun yang lalu, tentu nama Sumpur
Kudus akan tetap tertimbun dari pengetahuan publik.
Kemerdekaanlah yang memberi berkah kepadanya dan
kepada bangsa ini, sekalipun banyak pula tangan-tangan amoral telah mengotorinya.
Berkah yang paling baru
ialah sinyal telepon genggam (HP) telah menerobos kawasan udik itu sejak 5 Agustus 2006.
Sebuah perusahaan
telah membangun dua menara untuk menerima dan menyampaikan sinyal itu kepada sasarannya.
Saya percaya
penduduk segera akan menyerbu kedai-kedai HP di kota, di samping memang sebagai alat
komunikasi yang diperlukan, juga jangan dilupakan gengsi, sekalipun harus menekan keperluan yang lain.
Komentar yang saya terima ialah dengan munculnya sinyal di sana, maka kemerdekaan Sumpur Kudus menjadi semakin
sempurna, mengejar kawasan-kawasan lain yang telah lebih dulu merasakannya.
Inilah teknologi yang berkembang
dengan sangat kencang dengan segala sisinya yang positif dan negatif, sebuah risiko yang harus dihadapi.
Dunia bukanlah teritori hitam-putih.
Banyak dimensi yang harus dikaji dan dipertimbangkan untuk menarik
sebuah kesimpulan yang tepat dan arif, apakah itu baik atau sebaliknya.
Selamat dengan sinyal baru
Sumpur Kudus, jangan lupa bersyukur kepada Allah SWT.
=============================================================================================================
Saya anak nagari Sumpur Kudus, Afrinaldi, usia 23 th., alumni I.A.I.N. Sunan Kalijaga Jogyakarta th. 2012.
Setelah menyelesaikan pendidikan berkeinginan merealisasikan semboyan yang selama ini dilewakan oleh orang tua tua yaitu: babaliak ba nagari, kambali ba surau------>Membangun nagari, menghidupkan/meramikan surau sesuai dengan budaya adat warisan nenek moyang
Oleh sebab itu saya memantapkan diri untuk membangun nagari Sumpur Kudus.
Sebagai langkah pertama, saya ikut mempromosikan hasil tenun dari nagari Sumpur Kudus pada Sumbar Expo 2012:
1. Madu asli merek Rimba Raya Bukit Barisan yang berasal dari madu hutan rimbo Lisun sebanyak 50 kg.
2. Kain tenun dan songket.
harga:
harga:
200 x 60 cm. harga:
harga:
Jaga dan lestarikan Fauna dan Flora
Untuk merealisasikan kesepakatan anak nagari tentang Baliak ba nagari, kembali ba Surau ini, tolong di Like & Send atau di Tweet
Tweet